( Ditempat patok Acir terjadi peristiwa bersejarah bagi Masyarakat setempat.)
Baturetno MR - Di sebuah desa di wilayah Wonogiri Selatan yang kini dikenal sebagai Desa Setrorejo, Kecamatan Baturetno, tersimpan kisah perjuangan yang tak terlupakan selama agresi militer Belanda II dan III pada tahun 1948-1949.
( Bukit Selonjono )Masyarakat desa ini, meskipun dalam kondisi sulit, menunjukkan ketahanan dan semangat juang yang tinggi untuk mempertahankan hidup dan tanah air mereka.
Mbah Katmo, seorang lelaki berusia 76 tahun, mengenang kembali peristiwa tersebut meskipun saat agresi militer itu berlangsung, ia baru berusia kurang dari satu tahun. "Ibu saya membawa saya bersembunyi di bawah rimbunnya tanaman benguk.
Anehnya, saya tidak rewel meski pesawat tentara penjajah mondar-mandir di atas kami," kenangnya. Cerita dari orang tuanya menggambarkan betapa mencekamnya suasana saat itu.
Ayah Mbah Katmo, yang lebih merasakan ketegangan agresi tersebut, menceritakan bagaimana mereka menggunakan Bukit Selonjono, yang terletak di selatan dusun mereka, sebagai titik strategis untuk memantau pergerakan musuh.
(Patok Acir yang masih berdiri kokoh)"Kami membuat alat sederhana dari bambu yang disebut acir, tingginya sekitar 20 meter. Di bagian pucuknya kami buat anyaman yang diikat dengan patok. Alat ini digunakan untuk memberi tanda bagi masyarakat untuk bersembunyi sesuai arah pergerakan tentara," tuturnya.
Acir tersebut berfungsi sangat penting. Petugas akan menggerakkannya untuk menunjukkan arah di mana tentara Belanda bergerak.
"Jika acir condong ke timur, itu berarti tentara berjalan ke arah itu, dan kami harus bersembunyi di tempat lain," Mbah Katmo menambahkan.
Namun, perjuangan mereka tidak tanpa korban. Pada hari-hari mencekam tersebut, nasib naas menimpa Mbah Rakidi, yang gugur setelah tubuhnya tertembus peluru. Sementara itu, Mbah Warino tertembak di kaki tetapi masih selamat.
Peristiwa tragis ini menunjukkan bahwa meskipun mereka berjuang, tidak semua orang bisa selamat dari agresi ini.
Di sisi timur Bukit Selonjono, sekitar satu kilometer dari desa, terdapat markas TNI di rumah Mbah Karto.
Masyarakat desa mengandalkan markas ini sebagai harapan dan perlindungan dari serangan musuh. Namun, perjuangan mereka sering kali terabaikan dalam catatan sejarah, hanya diingat oleh mereka yang merasakannya secara langsung.
Mbah Katmo mengekspresikan kesedihannya, "Sejarah ini hilang begitu saja, perjuangan kami dengan tetesan darah dan air mata hanya dipandang sebelah mata."
Melalui cerita ini, kita diingatkan akan pengorbanan besar yang dilakukan oleh masyarakat desa dalam mempertahankan tanah air mereka.
Kisah mereka, meski terlupakan, adalah bagian penting dari sejarah perjuangan bangsa yang patut dikenang dan dihargai.( Maryoto / Cahyospirit )
Posting Komentar untuk "Kisah Perjuangan Masyarakat Desa Setrorejo di Tengah Agresi Militer 1948-1949"